Tamparan untuk Bali, Blackout Bukti Listrik Belum Mandiri, Separuh Masih Bergantung Jawa

Denpasar – Pemadaman listrik massal alias blackout yang melanda Bali, Jumat (2/5/2025) sore, menjadi tamparan telak bagi Pulau Dewata. Meski selama ini menggaungkan cita-cita menjadi pulau mandiri energi, faktanya hampir separuh kebutuhan listrik Bali masih bergantung dari pasokan Pulau Jawa. Peristiwa lumpuhnya aktivitas di Bali karena blackout ini membuka borok soal rapuhnya ketahanan listrik Bali.
PLN mencatat, kapasitas daya listrik Bali saat ini sebesar 1.274 megawatt (MW), yang bersumber dari PLTU Celukan Bawang (380 MW), PLTG Pesanggaran (344 MW), PLTG Gilimanuk (130 MW), dan PLTU Pemaron (80 MW). Namun, sebanyak 340 MW atau lebih dari seperempat suplai Bali harus diimpor melalui kabel bawah laut dari Jawa.
Sementara itu, beban puncak listrik di Bali kini sudah mencapai 902 MW dan tahun ini diperkirakan tembus 932 MW. Dengan pertumbuhan konsumsi listrik 7,89 persen hingga Mei 2025, tekanan terhadap pasokan terus meningkat, di tengah jumlah pelanggan PLN yang kini menembus 1,4 juta.
Blackout yang melumpuhkan Bali Jumat lalu diduga bermula dari gangguan di PLTU Celukan Bawang Unit 2, Buleleng. Akibatnya, sebagian besar pasokan listrik Bali kolaps. Masyarakat mengeluhkan lumpuhnya aktivitas di perkantoran, pusat belanja, hotel-hotel, hingga kemacetan parah di jalan-jalan utama.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan, konsumen Bali yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi. “Sudah ada ketentuan Permen ESDM yang mengatur kompensasi kerugian jika terjadi gangguan. Kalau konsumen Bali dirugikan akibat pemadaman, bisa menuntut pakai aturan itu,” kata Fabby, Jumat (9/5/2025).
Fabby merujuk pada Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2017 tentang mutu pelayanan dan biaya penyaluran listrik. Dasar hitungannya, kata dia, mengacu pada tingkat mutu pelayanan (TMP), salah satunya durasi gangguan. “Dasarnya adalah TMP, yang indikatornya termasuk lama gangguan,” ujarnya.
PLN Unit Induk Distribusi (UID) Bali menyebut aliran listrik sudah pulih 100 persen pada Sabtu (3/5/2025) pukul 03.56 WITA. Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto, mengklaim suplai listrik sudah masuk bertahap kurang dari 30 menit pascakejadian. “Pukul 18.30 WITA, 50 persen pelanggan sudah normal,” klaimnya.
Namun, pemulihan cepat itu tak menutup kenyataan bahwa blackout Bali kali ini jadi sinyal merah soal ketergantungan pasokan luar pulau. Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyebut, ini bukti bahwa Bali harus segera mandiri energi. “Kejadian blackout itu kan soal kemandirian satu pulau. Itu yang harus diperhatikan. Dari dulu kami sudah peringatkan Bali,” tegas Eniya, Senin (5/5/2025).
Ia mengingatkan, setiap pulau harus membangun ketahanan energi sendiri, tanpa bergantung antarpulau. Bali dinilai wajib mempercepat pembangunan pembangkit baru, termasuk energi baru dan terbarukan (EBT), demi mendukung citra sebagai destinasi hijau dunia.
Pengamat energi Dr. Gede Wahyu Sanjaya menilai Bali selama ini terlalu bergantung pada konsep kesatuan Jawa–Bali. “Kami akui, Bali itu sama dengan Madura yang masih bergantung ke Jawa,” katanya, Jumat (9/5/2025).
Dengan beban puncak yang kian mendekati kapasitas dan konsumsi listrik yang terus tumbuh, desakan agar Bali membangun ketahanan energinya sendiri kian nyaring. Peristiwa blackout ini jadi alarm keras: Bali tak bisa lagi menunda kemandirian listriknya, jika tak ingin kembali lumpuh dalam gelap.
Sebagai etalase pariwisata Indonesia, Bali bukan sekadar pulau biasa. Ia adalah wajah Indonesia di mata dunia. Maka, blackout yang mematikan lampu-lampu hotel, mematikan AC di vila-vila, dan membuat wisatawan terjebak dalam kemacetan gelap adalah pukulan telak bagi reputasi Bali. Jika Bali ingin tetap berjaya sebagai destinasi global, maka listriknya pun harus berdaulat penuh—tanpa lagi bergantung pada kabel dari seberang lautan.